Kota Kelahiran St. Clara dari Assisi

Kota Kelahiran St. Clara dari Assisi
"Aku bersyukur kepadaMu, sebab Engkau telah menciptakan Daku"

Jumat, 30 September 2011

Rabu, 24 Agustus 2011

Siapa dan Bagaimana





Berita Seputar Hidup dan Karya Para Klaris

Dalam waktu dekat Anda bisa membaca di sini berita seputar hidup dan para Klaris, baik di Tanah Air maupun di beberapa tempat di dunia.

 
Para Suster Klaris-Kapusines mengikuti Regula dan cara hidup Santa Klara dari Assisi dalam hidup kontemplatif, sebagaimana diajarkan oleh Santo Fransiskus dari Assisi. Secara khusus Ordo Klaris-Kapusines mengikuti inspiriasi dan pembaharuan Ordo Santo Fransiskus, yang muncul pada abad pertengahan, yaitu Ordo Kapusin.

Ordo Klaris-Kapusines tersebar di seluruh dunia, kebanyakan biara terdapat di Eropah dan di Mexiko, Amerika Tengah. Di Indonesia ini terdapat tujuh biara Klaris, yang terletak di Jawa (Pacet dan Yogyakarta), di Kalimantan (Singkawang dan Sarikan), di Nias (Gunung Sitoli), dan di Sumatera (Sikeben, Keuskupan Agung Medan, serta Sekincau, Keuskupan Tanjungkarang).
                                                  Siapa Kami?
Pertanyaan-pertanyaan yang sering diajukan kepada para Suster Klaris Secara rinci Anda akan mendapat jawaban atas beberapa pertanyaan seputar hidup dan karya kami.
Panggilan Dan Tugas Kami
Regula Santa Klara memulai dengan kata-kata: "Pola dasar Ordo Saudari-saudari miskin, sebagaimana ditetapkan oleh Santo Fransiskus, adalah sebagai berikut: Melaksanakan Injil Suci Tuhan kita Yesus Kristus dengan hidup dalam ketaatan, tanpa milik dan dalam kemurnian." Kalimat ini menyangkut seluruh hidup dan tugas kami. Sama seperti Fransiskus dan Klara kami berusaha, untuk mengikuti jejak-jejak Kristus, yang kita temukan dalam Injil. "Putera Allah telah menjadi jalan bagi kita, sebagaimana dengan kata dan teladan telah diajarkan kepada kita oleh bapa kita Fransiskus, yang sungguh menjadi pencinta dan penurut Anak Allah." (Wasiat Santa Klara). Tujuan hidup kita adalah ALLAH. Untuk mencari dan menemukan Allah dalam hidup sehari-hari, dalam dunia sekitar, dalam sesama manusia, itu menuntut kepekaan dan keterbukaan bagi bisikan dan sentuhan Allah dari setiap suster menurut jalan panggilannya masing-masing dan sangat pribadi.

Untuk dapat menjalankan hidup seperti ini, kami membutuhkan suasana ketenangan dan kesunyian, juga dalam arti, bahwa pengaruh dari luar harus disaring. Itulah maksud peraturan klausura dan keheningan. Menurut kata dan nasehat Santa Klara kami hendak menempatkan diri di dalam cahaya Tuhan, agar melalui doa dan meditasi kami lama-kelamaan diubah menurut gambaran Putra Allah.

Dengan demikian, tetap terpusat pada Allah dan terbuka bagi Sabda-Nya, kami memberi kepada-Nya jawaban kami dalam ikatan ketiga kaul: Taat kepada sabada-Nya, miskin di hadapan Allah dalam harta milik dan dalam hati, dan dalam kemurnian menjadi milik Allah melulu dan terbuka bagi cinta-Nya.

Panggilan ini kami jalankan dalam persaudaraan dengan para suster lainnya. Kami saling membantu, menghibur, kami berdoa bersama dan bekerja bersama. Panggilan kami bukan suatu hidup demi kesenangan sendiri. Tuhan selalu mamanggil orang demi kepentingan dan keselamatan orang lain. Demikian juga kami mengerti dan mengalami panggilan kami sebagai "pembantu Allah dan penopang anggota-anggota yang lemah dalam tubuh mistik Kristus" (Wasiat Santa Klara). Dengan demikian juga kami membawa semua permohonan dan penderitaan orang kepada Allah dalam doa kami. Semakin seorang bersatu dengan Allah dalam cinta dan penyerahan diri, semakin ia juga dapat mengalirkan rahmat Allah kepada dunia dan semua orang, yang membutuhkannya.

Juga kerja sehari-hari mengambil peranan penting dalam hidup membiara kami. Santa Klara mengatakan: "Para saudari yang oleh Tuhan diberi karunia untuk bekerja, hendaklah sehabis sembahyang bekerja dengan setia dan pasrah kepada Tuhan, sambil menangani pekerjaan yang pantas dan demi kepentigan bersama." Untuk Klara hal bekerja merupakan rahmat, bukan beban. Sebab cinta kasih hendaklah "diperlihatkan dalam perbuatan" (Wasiat Santa Klara). Oleh sebab itu kami sejauh mungkin mengerjakan semua pekerjaan rumah dan kebun sendiri, dalam semangat gembira dan syukur, dalam cinta persaudaraan dan demi kemuliaan Tuhan. Dan dengan ini kami berharap: Semoga hidup kami sungguh menjadi rahmat dan keselamatan bagi Gereja dan dunia, bagi banyak orang yang membutuhkannya.

Dan semoga kami sendiri pada akhir hidup di dunia in dapat juga berkata bersama Bunda kami Santa Klara: Ya Tuhan, aku bersyukur kepada-Mu, sebab Engkau telah menciptakan daku.


Siapa dan bagaimana?
Pertanyaan-pertanyaan, yang sering disampaikan kepada para Suster Klaris
1.     Anda hidup di Sikeben ini agak tersendiri dan terpisah dari masyarakat. Apa yang Suster lakukan sepanjang hari?

Yang kami lakukan sepanjang hari adalah berdoa dan bekerja, sebagaimana telah diatur oleh tata harian hidup kami. Secara garis besarnya adalah sebagai berikut:
04.00

Bangun
04.45

Meditasi
05.45

Ibadat Pagi dan Terzia
06.30

Perayaan Ekaristi
Sarapan pagi
07.30

Waktu kerja
11.30

Ibadat siang
12.00

Makan siang
14.00

Ibadat Bacaan
15.00

Waktu kerja
17.00

Ibadat Sore
Meditasi
18.30

Makan malam
19.00

Acara komunitas seperti perkumpulan komunitas, doa rosario atau latihan koor
20.15

Ibadat Penutup - Silensium besar
2.    
Di antara waktu doa di atas kami kerjakan semua tugas sehari-hari. Ada suster yang bertugas di dapur, di kamar jahit pakaian suster, menjahit paramen, membuat lilin, bekerja di kebun bunga dan kebun sayur, peternakan babi dan kelinci, mengerjakan administrasi biara, mengurus rumah tamu dan melayani tamu yang ada, memberikan pelajaran untuk novisiat, berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari, mencuci dan pekerjaan rumah tangga lainnya.

Hari Sabtu malam dan pada malam hari-hari raya Gereja biasanya kami doakan rosario bersama di gua Maria, dan pada jam 24.00 tengah malam kami mendoakan Ibadat Bacaan. Itulah kira-kira tata harian di biara kami ini.

3.     Suster mengatakan bahwa suster hidup di dalam klausura. Apa itu klausura?

Ya, kami hidup dalam klausura, dan semua kegiatan di atas kami laksanakan di dalam klausura itu. Klausura adalah bagian biara dengan kebunnya, yang tertutup untuk umum dan dibatasi dengan tembok atau pagar, dan yang hanya terbuka bagi para suster sendiri. Seperti hanya dengan alasan yang wajar dan perlu, para suster boleh ke luar dari klausura, misalnya untuk berbelanja, melayani di rumah tamu dll., demikian juga orang luar hanya boleh diizinkan masuk ke dalam klausura, bila ada keperluan yang wajar, misalnya tukang yang harus mengerjakan sesuatu, dokter dan imam. Semua ini harus dengan izin pemimpin biara (abdis) sesuai dengan peraturan konstitusi kami. Maksud hidup dalam klausura adalah, agar kami lebih terlindung dari keramaian dunia, sehingga dengan lebih mudah dapat menjalankan hidup doa, yang adalah inti tugas kami sebagai suster kontemplatif.

4.     Dari mana suster hidup, karya mana suster lakukan untuk memenuhi biaya hidup sehari-hari? Apakah suster mendapat bantuan finansial dari Keuskupan?

Kami tidak mendapat bantuan finansial dari Keuskupan, melainkan kami hidup terutama dari hasil rumah tamu dan dari pembuatan paramen. Ada juga sedikit hasil kerja tangan para suster, yang dapat dijual, juga lilin dalam jumlah terbatas. Selain itu adalah sedikit hasil kebun dan peternakan untuk melengkapi keperluan dapur.

Juga banyak orang datang meminta doa kami dan membawa sumbangan atau intensi untuk itu. Semuanya itu menutupi kurang lebih duapertiga dari keperluan kami sehari-hari. Selain itu kami tergantung pada kebaikan orang dan kenalan kami, yang kadang-kadang memberi sumbangan.

Dan kalau sungguh-sungguh perlu, kami boleh minta bantuan atau sumbangan menurut petunjuk Santo Fransiskus dan Santa Klara.

Secara teratur atau terjamin kami tidak punya pendapatan apapun, juga kami sama sekali tidak hidup dari biaya Keuskupan, sebagaimana kadang-kadang kedengaran.

5.     Suster mengutamakan hidup kemiskinan, tetapi nampaknya biara suster sangat bagus, juga rumah tamu ini bagus, bagaimana dan dari mana biayanya?

Dengan hidup dalam kemiskinan tidak dimaksudkan, bahwa cara atau lingkungan hidup harus nampak jelek atau primitif. Memang biara kami nampaknya bagus dan megah. Biara itu dibangun oleh Ordo Konventual, yang juga cukup banyak menyumbangkan biayanya. Untuk biaya lain telah kami minta sumbangan dari para penderma dan juga dari Karya MISSIO Jerman. Tetapi kalau ditanya misalnya Pastor Corrado, yang telah membangun biara itu, beliau akan membuktikan, bahwa cara membangun itu dengan sangat hemat dan sederhana dan semurah mungkin. Misalnya bahwa bangunan itu memakai batu-bata tanpa plester, sangat menghemat baik semen maupun kerja cat dinding. Perabot kami dibuat di sekolah pertukangan Mela oleh para anak sekolah. Dan dengan itu dapat dikerjakan lebih murah. Apalagi perabot itu kuat dan tahan, dan dengan demikian tidak lagi perlu kami pikirkan pembaharuan atau pembelian baru. Kalau terus menerus harus memperhatikan bangunan dan rehabilitasinya, itu adalah sangat sulit bagi kami, karena mengganggu cara hidup kontemplatif. Oleh sebab itu lebih baik, dari permulaan semuanya dibuat bermutu, untuk menghemat biaya, tenaga dan waktu.
Untuk rumah tamu kami telah meminta bantuan dari Karya Misi yaitu MISSIO Jerman, yang akhirnya membiayai pembangunan itu dan juga pernah datang untuk melihat dan menyetujui hasilnya.

6.     Kebun suster indah dan rapi dirawat. Suster punya karyawan?

Kebun sejauh mungkin kami kerjakan sendiri, dan hal-hal yang tidak bisa kami kerjakan (seperti menebang pohon, merawat tali air dari gunung, membabat rumput, keamanan kompleks, supir dll.) kami dibantu oleh 2 orang karyawan tetap dan seorang karyawan paruh waktu.

7.     Kompleks suster bagus dan teratur. Para suster mengerjakan itu, tetapi mengapa dihabiskan tenaga dan waktu untuk itu?

Memang, kebersihan, disiplin, serta hidup teratur sangat perlu sebagai dasar hidup kontemplatif. Kami perlu melatih diri dalam hidup sehari-hari, untuk kemudian juga dapat bertahan dalam fase-fase sulit, yang akan muncul dalam hidup doa. Badan dan jiwa kita adalah suatu kesatuan yang saling mempengaruhi. Maka kalau kita melatih diri dalam hal kebersihan, hidup yang teratur, dan tidak hanya sekadar menurut selera dan semangat, maka kita akan sangat terbantu dalam hidup doa dan meditasi, di mana juga selalu kita harus mengatasi diri, kalau muncul kesulitan, kekeringan, kebosanan dll. Dan dalam kebanyakan waktu doa, kita memang mengalami kesulitan itu. Kalau kita tidak melatih diri, juga dalam hal-hal lahiriah, kita mungkin tidak akan tahan dan akan menjadi bosan atau putus asa dan mencari hiburan-hiburan lain.

Kompleks yang indah dan teratur juga merupakan suatu sarana penting untuk cara hidup kami. Alam mengatakan banyak tentang kehadiran Tuhan, karena itu kami menjaga alam sekitar dengan baik sebagai tanda kehadiran Tuhan dalam segala ciptaan-Nya. Dengan ini, dalam hidup sehari-hari, kami sendiri dan orang lain yang datang kemari, sungguh dapat merasakan sentuhan kasih Tuhan serta kehadiran-Nya melalui alam sekitarnya. Bukan hanya melalui manusia yang dijumpainya.

8.     Bagaimana cara hidup suster sebenarnya?

Cara hidup kami adalah, bahwa kami ingin mengikuti jejak Tuhan kita Yesus Kristus dalam kemiskinan-Nya dan kerendahan-Nya dengan hidup "dalam ketaatan, tanpa milik dan dalam kemurnian" seturut teladan Bapa Santo Fransiskus dan Bunda Santa Klara dalam cara hidup kontemplatif.

Dalam pertanyaan terdahulu sudah kami terangkan secara garis besar hidup harian kami, dan di situ nampak, bahwa seluruh waktu dan kegiatan kami terarah pada doa dan mencari Tuhan. Secara konkrit dalam pembagian waktu antara doa dan kerja, tetapi juga dalam hidup bersama sebagai komunitas dan dalam perkembangan pribadi setiap suster, hal utama, yaitu hidup doa dan persatuan dengan Tuhan, dihayati dan diutamakan. Contohnya: Kami hanya akan mengirim seorang suster untuk studi, kalau studi itu perlu untuk suatu tugas dalam biara kami, atau kalau studi itu misalnya perlu untuk perkembangan rohani seorang suster. Dan dengan perkembangan rohani dimaksudkan juga perkembangan sehat sebagai pribadi manusia.

Juga hidup persaudaraan mempunyai peranan yang sangat penting. Sebagai pengikut Santa Klara kami harus sanggup, mencari dan menemukan Tuhan dalam diri setiap saudari. Dan kami harus melatih diri agar sanggup tunduk kepada setiap saudari dan melayaninya. "Tuhan sering menyatakan Diri dan berbicara melalui orang kecil dan lemah", kata Santa Klara. Juga hal kepemimpinan dilihat oleh Klara dengan sangat berbeda dari misalnya tradisi dan kebiasaan Ordo Benediktin. Dalam Ordo Benediktin seorang abdis adalah pemimpin rohani dan jasmani serta gembala para susternya. Ia punya tanda-tanda jabatan yaitu tongkat gembala seperti seorang uskup, pakai salib besar dan cincin di tangannya. Klara menerima jabatan abdis hanya karena ketaatannya kepada Gereja dan tanpa tanda-tanda jabatannya. Bagi Klara seorang abdis adalah ibu, terutama ibu rohani, kakak dan saudari para suster dalam semangat dan warna pelayanan. Karena Klara dengan tepat dan asli mau mempertahankan spritualitas dan ajaran Fransiskus, tetapi dalam gaya hidup kontemplatif.

9.     Apa karya biara ini, dan apa tugas para suster sebagai anggota biara atau sebagai kelompok?

Tugas kami yang utama sebagai suster Klaris adalah doa. Kami mendoakan seluruh doa ofisi atas nama Gereja, merayakan tahun liturgi melalui doa dan terutama perayaan Ekaristi, serta menimba kekuatan dalam persatuan dengan Tuhan. Kami menghayati kehadiran Tuhan dalam hidup sehari-hari dalam doa, meditasi dan kontemplasi, untuk membawa dunia ini kepada Tuhan, dan memancarkan cinta kasih Tuhan kepada dunia melalui hidup kami.

Tetapi sebagai suster-suster Klaris kami diwajibkan oleh konstitusi dan oleh semangat kemiskinan, agar sejauh mungkin mencari dasar dan keperluan hidup melalui kerja tangan kami sendiri. Baru kalau itu tidak mencukupi, kami boleh meminta bantuan dalam bentuk derma atau pertolongan lain. Oleh sebab itu setiap biara sejauh mungkin mencari pekerjaan, yang dapat dilaksanakan dalam kompleks klausura, dan yang tidak mengganggu hal utama, yaitu hidup doa dan kontemplasi. Contohnya Biara Klaris di Gunung Sitoli punya karya pembuatan hosti untuk beberapa keuskupan. Mereka juga membuat lilin, baik untuk keperluan keuskupan Sibolga maupun Medan, bahkan untuk Gereja Protestan. Selain itu mereka juga menjahit paramen seperti kasula misa, baju lector, kain altar dll., terutama juga dalam gaya budaya Nias.

Kami di Sikeben ini melayani umat dan Gereja melalui rumah tamu, terutama untuk orang yang mencari keheningan, ingin menjalankan retret atau rekoleksi. Karena tenaga dan waktu kami sebagai suster-suster kontemplatif terbatas, rumah tamu kami juga kecil dan memuat paling banyak sekitar 25 orang. Ukuran kecil ini sengaja dipertahankan, agar jangan mengganggu cara hidup doa kami.

Kami juga menjahit paramen untuk para Pastor dan gereja-gereja.

Sejauh masih ada waktu para suster juga membuat kerja tangan kecil, yang dapat dijual, seperti rosario, lilin, kartu dan karya-karya lainnya.

10.                        Apakah hidup seperti itu tidak terlalu royal, egois, mengingat semua kebutuhan masyarakat atau orang miskin di luar? Dan dibandingkan dengan hidup di luar yang penuh perjuangan materiil dan tantangan psikologis?

Sebagai orang yang terpanggil untuk menjalani hidup kontemplatif kami yakin, bahwa hidup kami ini tidak sia-sia bagi dunia. Sebaliknya kami berpendapat, bahwa orang yang mau mengikuti Tuhan dengan jalan ini, dan mau mewartakan kepada dunia tentang hidup yang akan datang, adalah sangat penting bagi dunia kita sekarang ini. Hidup kontemplatif ini, yang menjauhkan kami dari keramaian dan kesibukan duniawi, mau menyingkapkan juga sikap penebusan dan turut ambil bagian dalam keprihatinan Tuhan yang mendalam terhadap dunia.

Kami yakin bahwa perlu ada orang yang mempersembahkan hidupnya hanya untuk Tuhan saja, siang dan malam, dalam doa dan ulah tapa. Dan kalau banyak manusia mengorbankan hidupnya untuk hal-hal duniawi dan tidak mengenal Tuhan, apakah tidak pantas, bahwa ada juga orang, yang hanya mau menyembah Tuhan dengan seluruh hidupnya?

Hidup kami juga mau menjawab tantangan akan kebutuhan dalam masyarakat kita pada zaman ini, di mana kemiskinan itu bertitik berat ke kemiskinan rohani. Begitu banyak orang yang kena penyakit, hanya karena kesulitan hidup yang mereka hadapi, konflik dan masalah, dan kami mau membawa mereka ini kepada Tuhan dalam doa kami. Banyak persoalan dan kesulitan yang kami dengar dari para tamu dan ikut prihatin. Banyak orang datang untuk membuka diri atau mencari ketenangan dan damai dalam hati.

Kami yakin bahwa hidup yang kami hidupi ini tidak egois, sebab sebenarnya hidup di dalam biara pun tidak luput dari perjuangan. Kami juga adalah manusia biasa, dengan segala kerinduan dan kelemahan manusiawi, tetapi panggilan Tuhan mendorong kami, untuk pelahan-lahan mengangkat dan mengarahkan hal-hal manusiawi ke dalam cahaya dan rencana Allah. Dan kami yakin bahwa dengan demikian dunia dan semua orang lain juga didekatkan kepada Allah, ya, bahwa Allah menjadikan hidup dan perjuangan kami menjadi berkat dan rahmat bagi orang lain.

11.                        Apakah suster juga memberi retret atau memimpin rekoleksi?

Tidak, kami tidak memberi retret atau rekoleksi, karena kami berpendapat, bahwa karya itu bukan tugas kami, melainkan lebih merupakan tugas para pastor atau suster-suster kongregasi aktif. Lagi pula tenaga dan pendidikan kami untuk karya itu tidak memadai. Tetapi selain itu kami selalu bersedia memberi kesaksian tentang hidup dan iman kami, kalau itu diminta oleh tamu-tamu atau dibutuhkan. Dan kami juga selalu mendengarkan keluhan para tamu kami serta berbicara dengan mereka, menghibur mereka dan merasa solider dengan mereka. Tamu atau kelompok yang datang ke mari untuk menjalankan retret atau rekoleksi, biasanya membawa pembimbingnya sendiri, entah seorang pastor atau seorang suster.

12.                        Mengapa pakaian suster begitu panjang misalnya jubah itu, dan mengapa suster selalu menyem-bunyikan tangan di dalam baju suster? Dan apa artinya tali pinggang itu dengan rosario besar? Juga, mengapa suster memakai slayar begitu panjang?

Semua ini memang merupakan tradisi Ordo kami, yang mana setiap darinya mempunyai makna tertentu bagi kami dalam memberi arah untuk menghayati hidup kami. Jubah yang kami pakai itu bentuknya seperti salib, ini adalah bentuk jubah yang diberikan Fransiskus kepada Klara di awal pertobatannya. (Jiwa Fransiskus sudah menyerupai Kristus, begitupun dengan tubuhnya ia mau memperlihatkan salib Tuhan. Dalam tanda salib, Tuhan mengalahkan kekuatan si jahat, dan dalam tanda inipun kita mau mengabdi Tuhan.)

Tangan biasanya kami katupkan dibawah skapulir, agar nampaknya rapih dan seragam. Skapulir pada zaman dahulu dipakai pada pakaian profan dan sekarang dipakai oleh Gereja untuk kaum biarawan/wati: "Scapulir Deus mandavit de te": Dengan sayap-Nya Allah melindungi engkau.

Dengan skapulir itu mau dilambangkan bahwa di bawah sayap perlindungan Tuhan, di mana-mana kita selalu merasa aman dan damai yang sejati.

Tali pinggang: Kami memakai "singulum" yang mempunyai 3 simpul sebagai tanda, bahwa kami telah menyerahkan diri kepada Kristus dengan menjanjikan 3 kaul. Tali pinggang itu pada masa Fransiskus merupakan tali pinggang orang sederhana dan para petani.

Rosario dengan tujuh peristiwa adalah rosario dalam tradisi Fransiskan dengan tujuh peristiwa dukacita Maria dan tujuh peristiwa sukacita, yang mau melambangkankan, bahwa hidup kami sebagai hamba Tuhan meneladani Bunda Maria dalam suka dan duka hidupnya, dan kami mau tetap setia sebagai pengabdi Allah seperti Bunda Maria.

Slayar pendek melambangkan penyerahan hati kami seutuhnya kepada Tuhan dalam kemurnian, kerendahan hati, cinta kasih dan iman.

Slayar besar melambangkan, bahwa hati kami hendak merangkul seluruh dunia dengan penuh kasih, slayer belaskasih yang sanggup menembus dan memancarkan terang cinta kasih Tuhan kepada seluruh dunia. Menurut sejarahnya para perawan dalam gereja purba, yang mau hidup sebagai perawan bagi Gereja, menerima selubung dalam upacara khusus yang dinamakan velatio. "Velare" artinya: Menyelubungi atau merahasiakan. Kami mau mati bagi dunia dan hidup bagi Allah. Menurut kata-kata Santo Paulus: "Hidupmu tersembunyi bersama Kristus di dalam Allah" (Kol. 3,3).

Ketika menerima slayar besar disebutkan kata-kata ini: "Moga-moga dengan perantaraan Perawan Maria yang suci Tuhan memberikan kepada kamu slayar kemurnian, kerendahan hati, cinta kasih dan iman. Slayar lebar yang sanggup merangkul seluruh dunia dengan penuh kasih, slayar belaskasihan, yang sanggup menembus dan memancarkan terang cinta kasih Kristus kepada dunia." Dengan ini menjadi juga lebih jelas bagi kami sendiri, apa arti dari slayar yang besar itu.

Mahkota duri adalah lambang, bahwa seorang suster Klaris dipanggil untuk mengikuti Kristus yang tersalib sampai bersedia memikul juga salib dan penderitaan bersama Yesus. Kami menerima mahkota duri itu pada upacara profesi pertama, dan kami memakainya juga pada upacara Kaul kekal meriah sebagai tanda dan lambang penyerahan diri kepada Kristus.

13.                        Mengapa suster memakai pakaian seperti orang Islam?

Pakaian yang kami pakai, merupakan tradisi ordo yang sudah lama dan dipakai hampir di seluruh dunia. Tetapi untuk kami di Indonesia ini pakaian resmi sudah sedikit disederhanakan sesuai dengan iklim kita yang panas. Pakaian kami hanya kebetulan nampaknya sama dengan para wanita Muslim, mungkin karena sama-sama berasal dari zaman dulu. Mungkin juga sama maksudnya, yaitu menyembunyikan dan merohanikan. Kami terus mempertahankan jubah kebiaraan kami, karena mau melestarikan dan menghargai tradisi ordo yang sudah berabad-abad itu, yang mengandung makna rohani yang mendalam bagi kami.

14.                        Mengapa suster tidak bisa ke luar?

Kami memang tidak keluar kompleks biara, karena itu adalah cara dan peraturan hidup kami, yang disebut peraturan klausura dan ditentukan oleh Takhta suci untuk biara-biara para suster kontemplatif. Tentu ada juga kekecualian dari peraturan itu, di mana kami harus keluar dari klausura, misalnya untuk semua urusan yang perlu dilakukan di luar biara seperti pengobatan, berbelanja dan hal-hal lain.

15.                        Apakah suster libur setiap tahun? Atau mengapa tidak?

Memang, kami tidak libur setiap tahun. Menurut Konstitusi atau peraturan kami boleh berlibur ke kampung empat tahun sekali selama 10 hari di luar perjalanan, dan untuk para suster yang dari luar pulau enam tahun sekali. Tetapi kalau orang tua sakit keras dan dalam bahaya maut, kami boleh mengunjungi mereka di luar waktu itu. Semua peraturan bertujuan untuk melindungi hidup kontemplatif, agar kami lebih mudah dan juga lebih mendalam dapat menyerahkan diri kepada Tuhan dalam hidup doa. Juga perlu dipikirkan hal biaya, sebab kami tidak punya pendapatan tetap dan hidup hanya dari sumbangan para penderma, sedangkan ongkos perjalanan cukup mahal.

16.                        Mengapa suster tidak ikut acara-acara di luar seperti doa lingkungan, rapat, sermon dll?

Pelayanan itu adalah kerasulan para suster yang aktif atau para Pastor, sementara kami menghayati hidup dalam kerasulan doa. Apalagi peraturan klausura, yang sudah diterangkan di atas, tidak memungkinkan untuk hal ini.

17.                        Apakah suster juga mendapat uang kantong?

Kami tidak mendapat uang kantong karena memang tidak memerlukannya. Semua keperluan kami dipenuhi di dalam biara. Dan dari segi rohani serta penghayatan kaul, para suster Klaris tidak mempunyai uang pribadi, agar selalu terikat pada kemiskinan dengan meminta apa yang diperlukan.

18.                        Mengapa rosario suster punya 7 peristiwa dan apa namanya?

Rosario yang kami pakai pada tali pinggang itu namanya rosario Fransiskan dengan 7 peristiwa dukacita Maria dan 7 peristiwa gembira.

Ini termasuk tradisi fransiskan. Ketujuh peristiwa dukacita itu adalah sbb.:
o    Hati Maria akan ditembusi pedang.
o    Maria danYosef melarikan Yesus ke Mesir.
o    Maria kehilangan anaknya, yang tertinggal di Bait Allah.
o    Maria bertemu dengan Yesus, yang memanggul salib-Nya ke gunung Kalvari.
o    Maria berdiri dekat salib Yesus.
o    Maria memangku Yesus yang diturunkan dari salib.
o    Maria menyaksikan pemakaman Yesus.

Ketujuh peristiwa sukacita itu adalah sbb.:
o    Maria menerima kabar dari Malaikat Gabriel.
o    Maria mengunjungi Elisabeth saudarinya.
o    Maria melahirkan Yesus di Betlehem.
o    Maria dikunjungi orang-orang majus, yang datang menyembah kanak-kanak Yesus.
o    Maria menemukan Yesus di dalam Bait Allah.
o    Maria bersukacita, sebab Kristus Puteranya telah bangkit.
o    Maria diangkat ke surga dan dimahkotai menjadi ratu surga.

19.                        Mengapa ada dua macam baju, yang panjang dengan tali pinggang dan rosario dan yang lebih pendek tanpa rosario?

Sebenarnya hanya ada satu model pakaian kami, yaitu habit atau jubah yang panjang itu. Baju coklat yang lebih pendek hanya diperuntukkan bagi kami di Indonesia ini, mengingat cuaca yang panas dan tidak memungkinkan siang-siang kami pakai habit dengan skapulir, tali pinggang dan rosario. Di negeri Jerman misalnya untuk berbelanja pun dipakai habit lengkap.

Dan masih ada lagi baju kerja. Baju kerja dibuat dengan alasan praktis dari kain yang lebih ringan dan cocok untuk bekerja, supaya pakaian, yang dipakai untuk berdoa, tetap bersih dan pantas. Untuk perayaan Ekaristi dan semua acara resmi selalu kami pakai habit lengkap sebagai pakaian tradisi Ordo kami.

20.                        Mengapa suster tidak memakai cincin seperti suster-suster lain?

Dalam hal ini kami kembali kepada Santa Klara. Tidak ada catatan atau bukti, bahwa Klara dan para suster pertama telah memakai cincin. Juga dari segi kemiskinan dapat dianggap, bahwa cincin di jari bagi Klara terlalu mewah dan kurang sesuai dengan hidup kemiskinan dan kerendahan, sebagaimana yang diinginkannya. Tetapi memang ada juga biara-biara Klaris, yang mengikuti tradisi lain dan memakai cincin.

21.                        Mengapa suster semua punya sepatu berbeda?

Sepatu yang berbeda itu disebabkan oleh alasan praktis. Kadang-kadang seorang suster mendapat hadiah sepatu atau slop dari keluarganya atau para penderma. Juga perlu diperhatikan, kalau seorang suster membutuhkan sepatu khusus karena kondisi kesehatan. Pada umumnya kami memakai sepatu yang ada, demi semangat kemiskinan.

22.                        Apa artinya dua lokasi di gereja suster, yang dipisahkan dengan kisi-kisi besi?

Gereja kami dibangun sedemikian rupa, sehingga ada tempat tersendiri untuk para suster, yang beberapa kali sehari mendoakan doa ofisi dan mengadakan meditasi, dan ada bagian lain gereja, di mana disediakan bangku untuk umat yang ingin ikut ibadat ofisi atau perayaan Ekaristi. Bentuk gereja demikian merupakan bentuk tradisional untuk biara-biara kontempaltif. Dulu sebelum Konsili Vatikan II kisi-kisi itu tetap tertutup, bahkan masih dengan kain horden lagi, tetapi sekarang oleh Gereja juga diperhatikan persatuan umat Allah, yang bersama-sama merayakan Ekaristi, sehingga kami pun bisa membuka kisi-kisi itu untuk berdoa dan mengikuti perayaan Ekaristi di bangku-bangku gereja.

23.                        Mengapa suster mencium lantai kalau masuk-keluar gereja?

Ini adalah tradisi Ordo Fransiskan, namanya "prostration", artinya membungkukkan diri sampai ke tanah. Kalau kita membungkuk sambil berlutut mencium lantai di depan Sakramen Mahakudus atau salib, kita mengungkapkan dengan jelas sikap dasar seorang Kristen, terlebih lagi sikap seorang puteri Klara dan Fransiskus: "Engkaulah Allah dan saya manusia; Engkaulah semuanya, saya tidak berarti".

24.                        Intensi doa: Berapa lama didoakan permohonan doa dari orang? Apakah didoakan sama-sama atau bagaimana?

Intensi biasanya kami terima sudah ditulis dengan baik di atas kertas, atau melalui telepon, atau juga secara lisan. Intensi-intensi ini ditempelkan di suatu papan dan digantung di gang, yang selalu dilewati para suster kalau pergi berdoa, sehingga para suster bisa membacanya dan dapat mendoakannya.

Jadi kami tidak mendoakannya bersama-sama dengan doa khusus untuk intensi. Untuk itu Gereja sudah mewajibkan kami mendoakan seluruh DOA OFISI siang dan malam atas nama Gereja dan seluruh umatnya. Setiap dari kami merasa bertangung jawab atas tugas yang diberikan gereja, bahwa kami mau mempersembahkan hidup kami ini untuk mendoakan dunia dan semua orang, yang meminta doa kami, dan membawa dunia ini ke hadirat Allah. Dalam doa resmi itu kami juga mengingat semua intensi dan permintaan doa, yang disampaikan kepada kami.

25.                        Suster tidak punya koran dan televisi, bagaimanakah dapat mendoakan hal-hal penting di dunia ini?

Memang dalam hal ini kami agak kurang informasi. Dulu kami telah berlangganan koran, tetapi akhirnya kami stopkan langganan itu, karena di tempat terpencil ini koran itu selalu terlambat sampai. Tetapi kalau ada kejadian yang penting, kami juga membeli koran harian. Selain itu kami sering mendapat informasi dari Pastor dan tamu kami atau suster-suster yang bertugas di luar. Kami juga punya radio dan mendengarkan warta berita harian. Ada memang alasan tertentu, bahwa biara-biara kami tidak punya televisi. Sebab justru dengan sering menonton secara visual, fantasi kita cepat terikat pada hal-hal yang dilihat. Keterikatan itu bisa membuat kami kurang bebas untuk berdoa. Lagi pula waktu dan tata harian kami hampir tidak memungkinkan untuk itu.

26.                        Mengapa suster tidak bisa bertamu kepada famili, mengikuti acara dan pesta paroki, pesta keluarga atau pesta kampung?

Pertama harus dikatakan, bahwa cara hidup kami dalam klausura dengan peraturannya, diatur oleh Gereja dan konstitusi kami, yang disesuaikan dengan Hukum Kanonik dalam pasal-pasal yang berlaku untuk hidup kontemplatif dan monastik. Di situ ditetapkan, bahwa kami hanya dapat meninggalkan kompleks klausura atau biara untuk kepentingan tertentu. Mengikuti pesta dan acara-acara di luar biara maupun bertamu kepada keluarga tidak diperbolehkan bagi kami, dan itu terutama karena alasan rohani, supaya kami lebih sungguh-sungguh dan mendalam dapat terjun dalam doa dan dapat memusatkan diri kepada Tuhan saja. Tentu ada juga unsur berkorban dalam peraturan itu, sebab untuk setiap pilihan harus kita korbankan yang melawan pilihan itu. Tetapi semua peraturan klausura terutama mau membantu kami, agar dengan lebih mendalam dapat menjalankan hidup doa demi keselamatan semua orang dan dunia.

27.                        Peratauran klausura, apa itu, kami minta agar diterangkan sedikit.

Seperti dikatakan di atas, peraturan klausura telah ditetapkan oleh Gereja sendiri dan diatur dalam Hukum Kanonik. Kami para suster Klaris-Kapusines mengikuti Klausura Kepausan, yang ditentukan khusus untuk biara-biara kontemplatif, dan yang lebih ketat dan teratur daripada peraturan klausura yang berlaku untuk kongregasi-kongregasi.

Satu hal dasar adalah, bahwa biara kami harus dipagari dan tertutup, dan kami tidak boleh meninggalkan kompleks itu tanpa alasan penting, dan kami tidak boleh memasukkan orang lain ke dalam kompleks klausura tanpa alasan penting dan perlu.

Peraturan klausura itu berlaku secara umum untuk semua biara kontemplatif sesuai dengan KHK Kan. 667:

§ 1. Dalam semua rumah hendaknya dipelihara klausura yang disesuaikan dengan sifat serta misi lembaga seturut ketentuan-ketentuan lembaga itu sendiri, dengan selalu mengkhususkan suatu bagian dari rumah biara bagi para anggota sendiri. (Berlaku untuk lembaga dan kongregasi aktif)

§ 2. Tertib klausura yang lebih keras haruslah dipelihara dalam pertapaan-pertapaan yang diarahkan untuk hidup kontemplatif. (Berlaku misalnya untuk Pertapaan Rawaseneng)

§ 3. Pertapaan para rubiah, yang diarahkan sepenuhnya untuk hidup kontemplatif, harus mematuhi klausura kepausan, yakni menurut norma-norma yang diberikan oleh Tahkta Apostolik. (Berlaku untuk Ordo Klaris-Kapusines dan Ordo-Ordo rubiah kontempaltif lainnya)

§ 4. Uskup diosesan mempunyai kewenangan dengan alasan wajar untuk masuk ke dalam klausura pertapaan-pertapaan rubiah yang berada di keuskupannya, serta berwenang untuk mengizinkan orang lain masuk ke dalam klausura, jika ada alasan berat dan dengan persetujuan Ibu pemimpin rumah. Uskup juga berwenang mengizinkan para rubiah keluar dari klausura untuk selama waktu yang sungguh perlu.

Selain itu setiap biara masih mempunyai peraturan, yang disesuaikan dengan situasi masing-masing dan disyahkan oleh Takkhta Suci. Atas dasar peraturan khusus itu biara induk kami di Jerman dan biara-biara kami di Gunung Sitoli, Sikeben dan Sekincau tidak perlu lagi memakai kisi-kisi di bagian tamu dan tidak punya lagi "Suster-suster luar".

28.                        Di Italia biasanya orang luar mengurus hal-hal luar biara, seperti berbelanja dll. Apakah itu tidak lebih sesuai dengan peraturan biara kontemplatif-Klaris, yang harus mengikuti peraturan klausura kepausan, artinya klausura ketat?

Memang, kalau ada orang yang bersedia membantu mengurus urusan kami di luar biara, sehingga tidak perlu seorang suster yang harus melaksanakan tugas itu, pasti sangat bagus. Tetapi kami di Sikeben ini belum punya kemungkinan demikian. Pertama tidak ada orang awam, yang mau tinggal di sini untuk bertugas bagi biara kami, karena tempat terlalu terpencil, lagi kami juga kurang sanggup untuk membayar gaji itu. Juga tempat tinggal untuk para karyawan harus kami pikirkan.

Dulu sebelum Konsili Vatikan II biara-biara Klaris punya suster-suster luar. Suster-suster itu hidup di dalam biara bagian luar klausura dan menjalankan semua tugas, yang berhubungan dengan dunia luar biara atau dengan orang luar seperti berbelanja, melayani tamu, mengurus gereja dan sakristi, mengunjungi orang dan mengumpulkan sumbangan atau derma dalam bentuk uang atau barang, melayani pastor, yang bertugas di biara, dan pekerjaan lainnya. Suster-suster itu disebut juga Suster Klaris, tetapi mereka termasuk Ordo III bukan asli Ordo II. Mereka terhitung sebagai anggota biara tersebut tanpa ikatan klausura, tetapi juga tidak punya hak kapitel pasif. Mereka juga tidak diwajibkan mendoakan seluruh Ofisi, hanya sebagian. Tetapi mereka wajib mentaati abdis biara. Sebelum Konsili Vatikan II biara induk kami di Jerman juga punya beberapa suster luar, ada 6 atau 8 suster, yang hidup sebagai komunitas kecil di bagian luar biara, terpisah dari komunitas di dalam klausura biara, dan mereka melaksanakan semua tugas yang disebut di atas.

Pada Konsili Vatikan II sistem perbedaan dalam biara-biara kontemplatif dihentikan dan calon untuk suster luar tidak boleh diterima lagi. Tetapi suster-suster yang masih ada, boleh meneruskan hidup mereka seperti biasa, kalau mereka mau. Tetapi mereka boleh juga pindah ke Ordo II seperti suster yang berklausura. Di biara induk kami semua suster luar memilih untuk menjadi anggota Ordo II dan menerima Regula dan Konstitusi Ordo Klaris dengan peraturan klausura. Pada tahun 1970 mereka semua mengucapkan Kaul kekal meriah atas Regula Santa Klara dengan persetujuan Roma.

Pada waktu itu juga dikerjakan konstitusi baru untuk Ordo Klaris Kapusines oleh Ordo Kapusin dalam kerja sama dengan utusan suster-suster Klaris-Kapusines dari seluruh dunia, yang pada saat-saat tertentu berkumpul di Roma. Dari biara induk kami juga ikut seorang suster ke Roma, juga dari biara Klaris Singkawang. Konstitusi baru itu disyahkan oleh Takhta Suci pada tahun 1982 dan merupakan konstitusi resmi, yang kami ikuti sekarang.

Dalam konstitusi baru itu, hal klausura diatur kembali menurut situasi baru. Sekarang abdislah yang bertanggungjawab penuh atas pelaksanaan klausura di bawah perlindungan Uskup diosesan. Kalau tidak ada lagi suster luar, maka abdis berhak membebaskan seorang suster dari ikatan klausura untuk melaksanakan tugas-tugas di luar klausura biara. Suster-suster tersebut dapat diberi dispensasi tetap atau para suster dapat diganti menurut situasi dan kebutuhan biara. Dalam konstitusi diberi cukup banyak contoh dan kemungkinan. Mari kita melihat praktek klausura misalnya di Biara Klaris Kapusines Santa Croce di Assisi. Biara itu sudah tua dan tentu masih punya banyak adat-istiadat kuno. Tetapi tunas muda tetap ada juga. Mereka tidak punya lagi suster-suster luar, walaupun praktek kisi-kisi masih mereka pakai, disebabkan oleh bentuk bangunan lama. Mereka punya dua mobil, satu sedan dan satu kombi untuk bekerja. Seorang suster punya SIM dan membawa mobil. Suster itu juga punya handy untuk bertelefon ke biara, kalau ada yang perlu ditanyakan. Beberapa suster muda mengurus rumah tamu mereka yang besar, melayani tamu dan membereskan kamar-kamar. Dan ada lagi suster-suster lain, yang mengurus kepentingan tertentu di kota. Jadi, situasi dan pengurusan biara tidak berbeda dengan praktek kami di Sikeben ini.

29.                        Di mana adalah pusat Kongregasi Suster dan apakah Suster punya pimpinan Provinsial atau Jenderal?

Ordo Klaris-Kapusines disebut Ordo bukan Kongregasi, dan terdiri atas biara-biara independen, artinya biara-biara yang masing-masing otonom-mandiri. Para anggota Ordo-Ordo dan para suster Klaris-Kapusines mengucapkan Kaul Agung atau Kaul Meriah. Setiap biara Klaris punya pimpinan tertinggi sendiri, yaitu abdis. Kami tidak mempunyai rumah pusat Ordo seperti Jenderalat, dan tidak ada jabatan Provinsial atau Jenderal. Abdis adalah pimpinan tertinggi dan juga termasuk pada para pemimpin tinggi dalam Gereja seperti provinsial atau jenderal Ordo-ordo lain. Biara-biara kami langsung di bawah pimpinan Kuria Roma dengan Uskup diosesan sebagai wakilnya. Kongregasi adalah lembaga hidup bakti yang diakui oleh Paus atau oleh Uskup diosesan. Anggota-anggotanya hidup sesuai dengan peraturan mereka menurut ketiga kaul yang disebut "kaul sederhana". Tugas kongregasi-kongregasi biasanya terletak dalam bidang sosial.

30.                        Apa itu sebenarnya, hidup doa, hidup kontemplatif, doa kontemplatif ataupun doa mistik?

Pertanyaan ini merupakan langsung empat pertanyaan sekaligus. Biar kita coba melihat satu persatu.

Dengan hidup doa dimaksudkan suatu cara hidup, yang dipusatkan pada doa dan diatur oleh doa, baik doa liturgi maupun doa pribadi dan meditasi. Kami sebagai suster Klaris kontemplatif menjalankan hidup doa itu dan diwajibkan oleh Gereja, untuk siang-malam mendoakan seluruh doa Ofisi pada saat, yang ditentukan untuk masing-masing bagian. Tugas-tugas lainnya dan cara hidup lainnya harus disesuaikan dengan tugas utama ini. Di samping doa resmi itu kami juga menjalankan beberapa jam doa pribadi, meditasi, kontemplasi dan devosi lainnya. Doa pribadi itu sangat penting, agar doa resmi selalu dijiwai oleh hubungan pribadi yang akrab dengan Tuhan. Dengan ini kami punya panggilan dan menjalankan hidup doa.

Kalau orang-orang di luar biara atau dalam biara bukan kontemplatif suka dan banyak berdoa serta mengatur hidup mereka menurut kehendak Tuhan, itu dapat juga disebut hidup doa dalam arti lebih luas.

Dengan hidup kontemplatif dimaksudkan suatu cara hidup, yang mengutamakan hidup doa di atas karya-karya lainnya. Hidup kontemplatif itu dilindungi oleh Gereja dan diatur dengan peraturan-peraturan khusus, seperti misalnya peraturan klausura, yang sudah diterangkan di atas.

Dengan doa kontemplatif dimaksudkan suatu cara doa yang sudah lebih terjun dalam kehadiran dan pengalaman akan Allah. Sesudah menjalankan doa meditasi beberapa waktu lamanya dengan tekun dan setia, Tuhan seringkali menarik orang itu lebih dekat pada-Nya, sehingga ia tidak lagi harus mencari Allah dengan pikiran, melainkan mengalami kehadiran Allah berkat rahmat-Nya yang khusus, di dalam dirinya sendiri, dalam diri sesamanya dan dunia di sekitarnya, dalam segala peristiwa hidupnya. Itu pun baru merupakan permulaan dari jalan doa kontemplatif yang panjang itu. Orang-orang yang oleh Allah dituntun di jalan doa kontemplatif itu, harus siap mengalami banyak tantangan, kegelapan dan kesulitan. Dasar dan kunci kemajuan dalam doa itu adalah kerendahan hati dan pelepasan diri total dari segala hal duniawi dan dari dirinya sendiri, untuk mencari Allah melulu.

Dengan doa mistik dimaksudkan doa seperti diterangkan di atas. Biasanya kita berbicara tentang mistik, kalau seorang sudah mengalami sentuhan Allah, yang tidak lagi dapat diperjuangkan sendiri, dan ia mengalami lebih mendalam dan intensif bimbingan dan sentuhan Allah dalam hidupnya. Doa seperti itu, yaitu doa kontempaltif atau doa mistik, tidak terikat lagi pada doa resmi atau pada waktu doa saja, melainkan seluruh hidup seseorang merupakan doa dan pengalaman dengan Allah. Biasanya orang seperti itu disebut orang kontemplatif. Misalnya suster-suster kontemplatif adalah suster-suster, yang menjalankan cara hidup kontemplatif. Tetapi dengan orang kontemplatif juga dimaksudkan orang yang dibimbing oleh Tuhan pada jalan doa kontemplatif atau doa mistik yang khusus. Doa itu tidak selalu terikat pada cara hidup, misalnya dalam biara kontemplatif, melainkan seringkali orang yang hidup di dunia pun dan yang sibuk dengan bermacam-macam tanggungjawab dan pekerjaan, menerima rahmat khusus itu dari Tuhan. Sebagai contoh boleh kita sebut Ibu Teresa dari Kalkutta atau Dag Hammarskjí¹²í´¬ seorang politikus dan pemimpin UNO, atau Adrienne dari Spayer, seorang dokter. Pada seluruh perkembangan hidup doa dan doa kontemplatif, cintakasih dan perilaku hidup sehari-hari merupakan bukti doa yang benar, baik dalam hidup membiara maupun pada hidup di luar biara.


Sikeben, 11 Augustus 2003.
Disusun dalam rangka Perayaan Yubileum 750 tahun Meninggalnya Santa Klara